Translate

3 Apr 2013

KOMUNIKASI YANG MENYATUKAN UMAT, SEBUAH TINJAUAN RETORIKA UZTAD

Seorang tetangga mengajak saya untuk ikut dalam satu tabligh yang akan membahas tentang salah satu kelompok Islam, yang dalam sejarah menorehkan banyak pertumpahan darah di antara keduanya. Kelompok tabligh ini mengambil tempat di jantung pusat Kota Jakarta. 


Dengan tanya kutelisik ajakan itu. Bukankah masalah silang pendapat Islam Sunni dan Islam Syiah dalam sejarah Islam, bukan saja telah membawa perpecahan tapi juga pertumpahan darah? Aku tidak yakin bahwa tabligh tersebut akan menjadi lebih produktif jika mampu mengakomodasi ke dalam suatu dialog yang bernas dan sehat. Jika tidak, malahan bisa saja jadi makin memperuncing perbedaan hingga mengulangi kisah berdarah yang entah sudah berulang untuk yang keberapa kali. 

Bagiku, untuk mempelajari Islam Sunni dan Islam Syiah, aku tak mau masuk ke dalam retorika emosional. Para Da'i tak jarang  kurang mampu memisahkan antara emosi dan fakta, selain juga cenderung men-generalisasi atas satu kasus sehingga menjebak emosi umat ke dalam stigmatisasi. Retorikanya tak jarang retorika permusuhan, bukannya yang menyatukan umat.

Kelompok tabligh yang diceritakan di atas, nyatanya menceritakan isu-isu antara lain betapa liciknya kelompok the other tersebut terhadap kelompoknya; betapa koneksi mereka sangat high level ...yang oleh karena itu kelompoknya harus ekstra hati-hati dengan segala daya upaya atau terhadap jalur-jalur perjuangan kelompok the other. Pendek kata no way for ....(menunjukkan kelompok the other tersebut).

Sungguh aku prihatin melihat kenyataan itu. Ini seperti suasana perang dingin. Sungguh, tidak terbangun kenyamanan dalam beragama dalam situasi seperti ini. Apatah lagi mau mengembangkan umat, apatah lagi mau menghadapi isu globalisasi yang sedang dan akan terus melanda kita saat ini --yang dampaknya sudah kita rasakan sekarang juga dan siap menggilas kita, bila kita tidak mengerahkan semua daya upaya secara bersama-sama, tanpa melihat apa pun agamanya, apa pun alirannya.  

Bagiku, makin jelas, bahwa Indonesia membutuhkan suatu komunikasi penyatuan umat, di antaranya menggunakan retorika yang bukan memperuncing keterpisahan umat. Da'i -Da'i hendaknya memahami arah retorika yang mereka lakukan, dan "membunuh" sentimen yang tak bermanfaat bagi keluasan umat. 

Retorika adalah juga fungsi dari komunikasi. Komunikasi itu kan untuk membangun saling pengertian. Betapa indahnya kalau komunikasi itu berlangsung secara respect dan penuh empathy kepada sesama --meletakkan manusia pada kemanusiaannya. Ini akan bagus kiranya jika dipahami secara luas di negeri yang tidak tidak tunggal dalam banyak hal. 

Retorika penyatuan umat tidak disampaikan dengan penuh warna curiga, berselubung sakit hati, tanpa sadar atau secara sadar menanamkan kebencian terhadap kelompok lain , karena sudah tentu akan menghasilkan kebencian, tidak respect terhadap kelompok lain. Hasilnya akan sama sekali jauh dari menciptakan pengertian yang baik terhadap kelompok lain. Pasti, ini bukanlah retorika penyatuan umat yang produktif bagi sebuah kebangunan!

Menempatkan retorika dalam konteks fungsi komunikasi yang benar sangatlah penting. Retorika penuh ekslusivitas tidaklah memiliki tanggung jawab pada kontribusi bagi penciptaan saling pengertian. Yang terbangun malah sebaliknya, antara dua kelompok yang bersikukuh merasa paling benar. 

Menarik melihat contoh empat kesalahan mendasar dalam ceramah Habib Rizieq Shihab yang membantah buku Mulia dengan Manhaj Salaf karya Ustadz Yazid Jawas sebagaimana ditulis oleh Abu Muhammad Waskito dalam bukunya Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantaramencari titik kesepakatan antara Asy'ariyah dan Wahabiyah  (Pustaka Al-Kautsar, 2012, hlm140-141) yang juga dapat dilihat di Youtube.com berdurasi 29,59 menit. Kesalahan tersebut menurut AM Waskito menunjukkan sikap kurang hati-hati dalam menyampaikan tabligh. Adapun empat hal tersebut yaitu :
  • Tidak melokalisasi (mengeneralisasi), yaitu melebarkan tuduhan bukan pada Ustadz Yazid Jawas saja tetapi melebar ke komunitas Wahabi (Salafiyah) secara umum
  • Melakukan tuduhan-tuduhan terhadap Ustadz  Yazid Jawas bahkan kalangan Wahabi telah mengkafirkan kalangan Asy'ari dan Maturidi, padahal faktualnya Ustadz Yazid hanya menyebut "firqah-firqah sesat dan menyesatkan"
  • Telah menghadap-hadapkan antara Wahabi (Salafiyah) dengan Asy'ari yang sangat tidak layak bagi komitmen persatuan umat
  • Telah menggunakan perkataan yang tujuannya sangat disesalkan apalagi target pernyataannya adalah komunitas Wahabi yang telah terkenal dedikasinya dalam Jihad fi Sabilillah

Menurut hemat saya, retorika untuk penyatuan umat bukanlah retorika yang menegasikan kelompok lain, menganggap kelompok lain sebagai musuh tetapi retorika yang mengantarkan satu kelompok untuk dapat bekerja sama dengan  kelompok lainnya dalam bingkai keumatan;  retorika yang membangun saling percaya. Dengan retorika seperti ini, komunikasi yang terbangun akan menjadi terus produktif bagi umat hingga terhambatlah kemungkinan-kemungkinan meletupnya pertikaian tak berguna

Jakarta, 3 April 2013

Helsi Dinafitri (www.pitoktie.blogspot.com / email: pitoktie@gmail.com)

Tags: islam, sunni, syiah, retorika, komunikasi, habib rizieg shihab, Ustadz Yazid Jawas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar